ETIKA BISNIS DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Fenomena etika bisnis di Indonesia:
Etika merupakan standar-standar berperilaku dan nilai-nilai moral
yang mengatur tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan di dalam lingkungan
kerja. Dalam suatu bisnis memperaktikan etika berarti mempraktikan tata cara
bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis bisa menyenangkan karena
saling menghormati, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efesiensi
kerja dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan.
Berbisnis dengan
etika bisnis adalah menerapakan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku
bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontrak sosia, hak dan kewajiban,
prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Penyimpangan bahkan pelanggaran etika bisnis
bisa terjadi ketika hal-hal tersebut tidak dipatuhi oleh perilaku bisnis.
Di Indonesia etika
bisnis merupakan suatu yang lama tetapi sekaligus baru. Sebagai sesuatu yang
bukan baru, etika bisnis bersamaan dengan hadirnya bisnis dalam masyarakat
Indonesia, artinya usia etika bisnis sama dengan usia bisnis yang dilakukan
masyarakat Indonesia. Dalam memproduksi sesuatu kemudian memasarkannya,
masyarakat tempo dulu juga telah berpatok pada pertimbangam-pertimbangan untung
dan rugi. Namun dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang cinta damai, maka
masyarakat Indonesia termotivasi untuk menghindari konflik-konflik kepentingan
termasuk di dalam bisnis.
Secara legitimasi,
etika bisnis di Indonesia baru dimulai dan diberi tempat khusus semenjak
diberlakukannya UUD tahun 1945, khususnya di pasal 33 yang menyebutkan pesan moral
yang amat etis bahwa pembangunan ekonomi Indonesia semata-mata demi
kesejahtraan seluruh masyarakat Indonesia yang merupakan tuan di negeri ini.
Jadi pembangunan ekonomi Indonesia tidak sekali diperuntukan bagi segelintir
orang atau kelompok untuk memperkaya diri karena berada diposisi strategis.
Rendahnya Etika Bisnis dan KKN: Sumber Permasalahan Bangsa
Kita lihat bahwa rusaknya kebijakan
ekonomi Pemerintah ditinjau dari sudut etika bisnis sudah sangat dahsyat.
Kerusakan oleh KKN yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan,
moral, mental dan akhlak membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk
akal.
Menurut saya KKN adalah sumber dari
segala permasalahan yang mencuat dalam segala bidang. KKN adalah the roots of
all evils. Kalau kita telusuri akar penyebab dari hampir semua permasalahan,
yang berarti tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi saja, kita selalu
terbentur pada KKN. Sebagai contoh, mengapa daya saing bangsa kita lemah?
Karena banyaknya pungutan liar dan komersialisasi jabatan. Mengapa banyak
proyek tidak masuk akal dibangun dengan utang yang memberatkan? Mengapa
demikian banyaknya proyek dirancang dengan pembiayaan utang yang tidak
diwujudkan karena tidak mampu melaksanakannya? Karena tidak ada kemampuan
melakukan perencanaan yang baik? Tidak, sebabnya adalah karena setiap
pengeluaran untuk proyek dibocorkan untuk kantungnya pimpinan proyek dan
orang-orang terkait.
Ketika menggagas proyek,
pertimbangannya tidak karena proyek itu bermanfaat, tetapi karena mudah di mark
up dan dikorup untuk dirinya penggagas beserta kelompoknya. Jadi kemampuan
merencanakan ada, tetapi otaknya sudah dimasuki virus KKN. Mengapa mutu
pendidikan kita sangat rendah? Karena gelar kesarjanaan dikomersialkan dan
akreditasi oleh pemerintah dapat dibeli. Dampaknya tidak dalam bidang ekonomi,
tetapi pembodohan seluruh rakyat.
Logika juga sudah dibolak balik
dengan pembelaan yang gigih dengan gaya menggebrak dengan dalil-dalil tanpa
argumentasi. Banyak istilah-istilah terang-terangan diartikan lain. Utang yang
terang-terangan utang disebut pendapatan untuk pembangunan. Pemberi utang yang
mengenakan rente disebut donor. Anggaran yang terang-terangan defisit disebut
berimbang. KKN dibenarkan, yang dibela dengan dalih bahwa karena hanya melalui
KKN menjebol uang bank, maka industri-industri besar dapat tumbuh dan PDB
meningkat terus. Maka semuanya justru yang sangat besar merugikannya dibebaskan
dengan pemberian R&D. Pembelaan terhadap pemberian R&D tidak dapat
dimengerti, karena lagi-lagi menggebrak tanpa argumentasi.
Pejabat sangat tinggi dalam bidang
penegakan hukum terang-terangan menawarkan trade off mau menghukum orang yang
bersalah atau memperoleh kembali uang curiannya. Menangkap orang tanpa bukti
kuat dikatakan mengamankan. Menganiaya dikatakan mendidik, mendevaluasi mata
uang dikatakan menyesuaikan nilainya; tidak peduli bahwa kalau diukur dengan
purchasing power parity dengan devaluasi itu nilai rupiah menjadi sangat-sangat
undervalued. IMF yang jelas sudah memporak-porandakan perekonomian kita dikatakan
membuat ekonomi kita sekarang stabil. Ekonomi dengan sendirinya menjadi stabil
setelah mengalami gejolak yang siklis.
Pembenahan etika bisnis dan
pemberantasan KKN harus diwujudkan secepatnya. Tidak melalui slogan-slogan,
tetapi melalui konsep dan rencana tindak (action plan) yang konkret. Kerugian
kebendaan yang diakibatkan oleh KKN buat bangsa kita luar biasa besarnya. Yang
lebih menyedihkan, KKN terus berjalan yang semakin lama semakin hebat, dan
sudah merambat ke dalam otak, budaya, gaya hidup, tata nilai yang membuat kita
tidak mempunyai kepercayaan dan tidak mempunyai harga diri lagi. Sogok menyogok
dan korupsi tetap merajai negara ini.
Dua hal penting yang menjadi
penghambat bagi perkembangan etika bisnis di Indonesia yakni budaya masyarakat
dan kondisi sosial politik Indonesia. Pertama, semua perselisihan dan
pertengkaran antar kelompok diharapkan akan beres begitu saja, jika dipakai
pendekatannya adalah kekeluargaan. Tentu secara etika bisnis hal ini tidak
memandai, misal atas nama keluarga seseorang yang mempunyai pertalian darah
yang menjabat sebagai orang penting di negeri ini lantas memberikan
proyek-proyek pemerintah kepada saudaranya yang mempunyai bidang usaha tanpa
terlebih dahulu melakukan tender atau lelag terbuka.
Kedua, kondisi
sosial politik Indonesia juga menghambat perkembangan etika bisnis bila dilihat
dalam konteks etika bisnis dalam menyentuh peran negara sebagai sistem
perekonomian nasional. Peran pemerintah sebagai regulator sangat menentukan
tinggi rendahnya kesejahtraan rakyat. Menurut banyak peneliti, terdapat
sejumlah kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dan bisnis semestinya dikaji
dan dipertimbangkan kembali karena belum sepenuhnya memihak kepada kepentingan
rakyat, kasus dana talangan century dan bantuan likuiditas bank Indonesia
(BLBI) merupakan contoh nyata dari kebijakan yang salah.
Konsep etika
bisnis dapat terlaksana apabila setiap orang dan perusahaan mau komitmen dengan
aturan etika tersebut. Apabila semua etika bisnis telah disepakati, sementara
pengusaha atau pihak lain mencoba untuk melakukan kecurangan demi kepentingan
perusahaanya sendiri, maka semua konsep etika bisnis akan berguguran dengan
sendirinya. Oleh karena itu etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha
tidak lepas dari elemen-elemen lain, baik perusahaan, masyarakat, dan negara.
Agar etika bisnis
dapat diterapkan pada seluruh elemen yang berada di masyarakat, perusahaan,
maupun negara, maka ketentuan-ketentuan hukum yang memenuhi syarat harus ada
dan sudah ada dipatuhi dan dilaksanakan. Penerapan sanksi yang jelas dan tegas
bagi semua elemen yang melanggar akan memberikan jaminan kelanggengan dan
keasrian kepada bisnis sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas dan standar
hidup masyarakat.
Adapun
kaitannya dengan tanggung jawab sosial, munculnya praktik corporate social
responsibility dalam dua dekade terakhir ini merupakan indikasi dari pergeseran
paradigmatik dari kalangan bisnis dan pemangku kepentingan dalam menjalankan
peranannya. Sebuah keniscayaan bahwa perusahaan atau entitas bisnis tidak dapat
lagi menafikan keberadaan berbagai pihak lain yang berhubungan dengan eksistensi
mereka secara multidimensional. Pihak lain, baik dalam arti individu, kelompok,
organisasi atau masyarakat luas inilah yang dikenal sebagai stakeholder atau
pemangku kepentingan (Wibowo: 2007).
Namun demikian, masih banyak
kalangan bisnis yang belum menyadari akan hal itu. Boleh jadi karena
terbatasnya pemahaman, atau bahkan menafikan perubahan tersebut sehingga dari
paradigmanya pelaksanaan program CSR masih terkesan sepihak. Selain itu, efisiensi
dan signifikansi dari program CSR masih belum dapat terbaca sepenuhnya oleh
para pelaku bisnis sehingga CSR sendiri bagi bagian pelaku bisnis baru sekedar
wacana dan terkadang implementasinya berdasarkan atas tuntutan masyarakat
(Tanudjaja: 2005,2).
Semangat mementingkan orang lain dan melakukan tangung jawab sosial
perusahaan masih belum menjadi bagian dari strategi perusahaan. Hal ini karena
perusahaan pada hakikatnya tetap mengejar tujuan dasarnya, yaitu pengumpulan
profit dan meningkatkan nilai sahamnya, terutama bagi perusahaan yang sudah
mencatat sahamnya di bursa (Rokhim, 2009:2). Beberapa pihak juga beranggapan
CSR hanya akan membebani operasional perusahaan yang secara tidak langsung
mengurangi keuntungan perusahaan.
Pandang yang sama pesimisnya terlontar dari para aktivis HAM dan
lingkungan yang kerap kali menyertakakan motif CSR sebagai strategi kaum neolib
untuk tetap melanggengkan hegemoni kapitalisme. Program CSR dianggap sebagai
piraanti lunak yang tidak berubah yaitu motif primitif pengusaha untuk
memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pendapat ini memang mendapat dukungan
dan fakta empiris dari terus berlanjutnya proses pemiskinan dan marginalisasi
kelompok rentan, pandangan seperti inilah yang mendasari prakarsa
penyelenggaraan World Social Forum (WSF) di Porto Allegre sebagai tandingan
dari World Economic Forum (WEC) yang bermula di Davos (Kotler: 2005).
Selain fakta diatas kesungguhan CSR yang dilakukan oleh beberapa
perusahaan dalam tataran praktik memang kerap kali menunjukan kecendrungan
sebagai kegiatan kosmetik. Ia menjadi sekedar fungsi kepentingan public
relations untuk mendongkrak nilai di bursa saham. CSR hanya dilakukan sebagai
pemenuhan global tanpa substitutsi kesejahteraan sosial dan pelestarian
lingkungan, jauh dari gagasan John Elkington (1997) tentang konsep triple
bottem line (Kotler:2005)
Pada kenyataannya, tidak bisa dipungkiri bahwa praktik CSR
merupakan keharusan bagi setiap perusahaan dalam mendukung aktivitas bisnisnya,
sebab tidak ada jalan lain bagi perusahaan yang ingin mengoprasikan
perusahaannya dalam jangka panjang selain memperoleh izin sosial dari
masyarakat luas (Budimanta:2005). Pendapat
tersebut diperkuat oleh Frederick, 1988 dalam thesis Hendri Budi Satrio
(2002,2) mengatakan perusahaan yang telah merubah strategi bisnis dengan
memperhatikan ligkungannya terbukti telah berhasil membawa bisnis ke arah
kondisi baru yang lebih baik.
Menurut Frederick CSR merupakan cara untuk mengganti keuntungan
optimal menjadi maksimal. Karena sering kali ditemuikan banyak perusahaan yang
terjebak pada keuntungan optimal saja, maksud keutungan optimal disini adalah
keuntungan yang tercapai pada tingkat kepuasan pemilik atau direktur
perusahaan. Lebih jauh lagi Frederick mengatakan CSR membantu perusahaan
medapatkan keuntungan maksimal melalui program jangka panjang yakni perhatian akan
kesejahtraan karyawan, kesehatan lingkungan sekitar, dan niat baik pada
masyarakat.
Di Indonesia sendiri dikeluarkannya UU No. 40 tahun 2007
tentang perseroan terbatas, yang termuat dalam BAB V Pasal 74 menjelaskan
tetang tangungg jawab sosial dan lingkungan. Sekalipun tidak dijelaskan secara
rinci dalam uraian pasal tersebut namun dapat dipastikan bahwa yang dimaksud
oleh pembuat undang-undang dengan tanggung jawab sosial tidak lain merujuk apa
yang ada didalam bahasa inggris disebut social and environmental responsibility
atau yang sisebut juga dengan istilah corporate social responsibility.
Tidak sampai disitu, kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
rupanya di tauqid-kan dengan dibuatnya Peratuaran Pemerintah (PP) Nomor
47 tahun 2012 yang berkaitan dengan tangung jawab sosial perusahaan. Ini
menambah pengetatan bahwa tanggung jawab sosial yang selama ini dianggap
sebagai program public relation dan kegiatan fhilantropy (sukarela)
harus benar merupakan sinyal bahwa setiap perusahaan diwajibkan untuk
melaksanakan tanggung jawabnya dalam hal tanggungung jawab sosial. Terbitnya PP
diharapkan dapat menggiatkan dan meningkatkan kualitas program CSR, terutama
dapat berdampak terhadap pilar 3P yakni profit, planet, dan people
(Ambadar: 2008).
Contoh-contoh jenis pelanggaran etika bisnis:
Di Indoenesia banyak terjadi masalah penyimpangan etika bisnis,
bahkan sampai pada tataran yang bisa menyebabkan bencana nasional. Berikut
uraian mengenai pelanggaran-pelanggaran etika bisnis yang terjadi di Inodesia
baik dalam tingkat pedagang, perusahaaan, sampai dengan korporasi.
1.
Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Kasus pembobolan bank yang dilakukan oleh Inong Malinda Dee yang
merugikan dana nasabah sebesar Rp.17 milyar. Malinda Dee di vonis dengan
hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 10 Miliar[1].
2.
Pelangggran etika bisnis terhadap transparasi
Pelangran
yang dilakukan Bank Lippo saat melakukan go public tahun 1990-an,
perusahaan tersebut melakukan rekayasa dalam perolehan laba. Berdasarkan
peraturan, untuk go public perusahaan harus memperoleh laba tiga tahun
berturut-turut. Sebenarnya pada saat itu bank merugi, tapi dibuat menjadi
untung karena ada satu transaksi yang disebut valas[2].
3.
Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggung jawaban mengenai
integritas keuangan, pengangkatan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan.
Sasaran pertanggung jawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan dan
peraturan perundangan yang berlaku yang mencakup penerimaan, penyimpanan, dan
pengeluaran uang oleh instansi pemerintah. Aliran Dana Lembaga Penjamin
Simpanan pada Bank Century atau secara teknis disebut sebagai penyaluran
modal sementara (PMS) yang dikucurkan dalam kurun waktu delapan bulan dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) yang
mencapai sejumlah Rp 6,7 triliun adalah salah satu tata cara penanganan
terhadap bank gagal yang dilakukan oleh Komite
Stabilitas Sektor Keuangan
(KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Pengawas Perbankan
(LPP) dalam hal ini termasuk bank gagal dalam dampak sistemik. Adanya indikasi
pelanggran peraturan dan mengapa bisa
terjadi perubahan Peraturan Bank Indonesia secara mendadak, keterlibatan
Kabareskrim Mabes Polri ketika itu, Komjen Susno Duadji, dalam pencairan dana
nasabah Bank Century, dan kemungkinan terjadi konspirasi antara para pemegang
saham utama Bank Century dan otoritas perbankan dan keuangan pemerintah[3].
4.
Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggung jawaban
Pihak Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda akan mengugat perusahaan tambang batu
bara yang tidak melakukan reklamasi. Sejauh ini perusahaan beroprasi tidak
mengindahkan kelestarian lingkungan, padahal sesuai uu no. 40 tahun 2007 dan Peratuaran
Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 2012, menyatakan
perusahaan yang mengelola atau berkaitan dengan sumberdaya alam harus melakukan
tanggung jawab sosial dan lingkungan[4].
5.
Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Akibat persaingan kurang sehat pihak perusahaan kini melakukan
berbagai cara untuk merekrut tenaga kerja yang diiming-imingi kenaikan
gaji.Berawal dari kekecewaan dengan management PT Riau Andalan Pulp and Paper
(RAPP), ratusan karyawan di masing-masing departemen perusahaan kayu yang
berbasis di Pangkalan Kerinci mengancam bakal hengkang dari perusahaan dan
hijrah Ke PT Indah Kiat.
Kekecewaan tersebut dikarenakan perusahaan ini telah ingkar janji
dengan para karyawan terkait bonus yang akan diberikan. Dimana sebelumnya, para
karyawan yang bekerja di PT RAPP diberikan janji oleh pihak management dengan
bonus kesejahteraan bila target perusahaan tercapai. Namun meski target
perusahaan telah tercapai empat bulan lewat, janji perusahaan yang akan
memberikan bonus pada karyawan tak kunjung terealisasi[5].
6.
Pelanggran etika bisnis terhadap prinsip empatik
Seorang pekerja wanita di salah satu kawasan pabrik di wilayah Cikarang
dilarang cuti kerja, walaupun pada saat itu anaknya sedang sakit keras dan
akhirnya meningal[6].
Kasus ini akhirnya dilaporkan ke LBH sebagai pelanggaran HAM.
0 komentar: