Bank Perkreditan Rakyat Syariah
BAB II
ISI
ISI
1. PENGERTIAN
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga
keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip
syariah ataupun muamalah islam.
BPRS
berdiri berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Pada pasal 1 (butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPRS adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
BPR yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei
1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal
ini, secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan
sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip
syariah terutama bagi hasil.
2. SEJARAH PERKEMBANGAN
Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dikenalkan pertama kali oleh Bank
Rakyat Indonesia (BRI) pada akhir tahun 1977, ketika BRI mulai menjalankan
tugasnya sebagai Bank pembina lumbung desa, bank pasar, bank desa, bank pegawai
dan bank-bank sejenis lainnya. Pada masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI,
seluruh bank tersebut diberi nama Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Menurut Keppres No. 38 tahun 1988 yang
dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah jenis bank yang tercantum
dalam ayat (1) pasal 4 UU. No. 14 tahun 1967 yang meliputi bank desa, lumbung
desa, bank pasar, bank pegawai dan bank lainnya.
Status hukum
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pertama kali diakui dalam pakto tanggal 27
Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan
perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari beberapa lembaga
keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung
Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD),
Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Desa (BKPD) dan atau lembaga lainnya yang
dapat disamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 tentang
Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut status hukumnya
diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Dalam
perkembangan selanjutnya perkembangan BPR yang tumbuh semakin banyak dengan
menggunakan prosedur-prosedur Hukum Islam sebagai dasar pelaksanaannya serta
diberi nama BPR Syariah. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah adalah
PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec.
Padalarang, Bandung
dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Pada tanggal 8 Oktober 1990, ketiga
BPR Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Menteri Keuangan RI
dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991.
Selain itu,
latar belakang didirikannya BPR Syariah adalah sebagai langkah aktif dalam
rangka restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam
berbagai paket kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum.
Secara khusus
mengisi peluang terhadap kebijakan bank dalam penetapan tingkat suku bunga
(rate of interest) yang selanjutnya secara luas dikenal sebagai sistem
perbankan bagi hasil atau sistem perbankan Islam dalam skala outlet retail
banking (rural bank).
UU No.10 Tahun 1998 yang merubah UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
nampak lebih jelas dan tegas mengenal status perbankan syariah, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13, Usaha Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 13 huruf C
berbunyi : Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip
syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
Keberadaan BPRS secara khusus
dijabarkan dalam bentuk SK Direksi BI No. 32/34/Kep/Dir, tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip
Syariah dan SK Direksi BI No. 32/36/Kep/Dir, tertanggal 12 Mei 1999 dan
Surat Edaran BI No. 32/4/KPPB tanggal 12 Mei 1999 tentang Bamk Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Perkembangan bank syariah dari
awal keberadaannya hingga November 2001 terdapat 81 BPRS. BPRS tersebut distribusi jaringan
kantor tersebar pada 18 provinsi yang beradadi Indonesia.
3. PENDIRIAN BPRS
Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pendirian BPRS :
- Persyaratan Umum
1. Memperoleh izin dari
Menkeu RI dengan pertimbangan BI
2. Bentuk badan hukum
BPRS, perusahaan daerah, koperasi dan PT
3. Didirikan dan
dimiliki oleh Pemda, koperasi dan PT
4. Tempat kedudukan BPRS
di kecamatan di luar ibu kota negara, ibu kota Dati I dan Dati II
5. Wilayah pelayanan
mencakup desa – desa dan perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan BPRS
6. Usaha meliputi
tabungan dan deposito berjangka dan memberikan kredit kepada pengusaha kecil
7. Modal disetor minimal
Rp 50.000.000,-
8. Penanaman modal
aktiva tidak boleh melebihi 50% dari modal sendiri
9. Mayoritas direksi
harus berpengalaman dalam operasional bank minimal satu tahun
- Permohonan Izin Arsip
1. BPRS berbentuk PT
a. Siapkan modal disetor
minimal Rp 15.000.000,- atau 30% dari
total modal disetor
b. Siapkan minimal dua
nama yang akan dipakai BPRS dan selanjutnya minta persetujuan ke Departemen
Kehakiman
2. BPRS tidak berbentuk
PT
Menyesuaikan diri dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh departemen terkait.
3. Permohonan izin arsip
Mengajukan permohonan tertulis
ke Menkeu RI dengan melampirkan :
·
Rencana akte pendirian dan AD BPRS
·
Rencana kerja BPRS pada tahun pertama
·
Daftar calon direksi, dewan komisaris dan pengawas
Syariah
·
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 15.000.000,-
pada rekening Menkeu pada bank pemerintah
c.
Permohonan Izin Usaha
Mengajukan permohonan izin
usaha dan diajukan ke Menkeu RI dengan melampirkan :
·
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 35.000.000,-
pada rekening Menkeu pada bank pemerintah
·
Copy AD BPRS yang telah disahkan Menteri Kehakiman
RI
·
Photocopy NPWP BPRS
·
Menyampaikan prosedur dan sisitem tata kerja BPRS
disertai warkat yang akan digunakan
·
Mengirimkan data pengurus BPRS
·
Photocopy situasi dan kondisi perkantoran dan
peralatan BPRS
d.
Persiapan Pra Operasional
BPRS
BPRS yang telah memperoleh
izin usaha harus ke Pemda setempat untuk memperoleh WDP ( Wajib Daftar
Perusahaan) dan SITU ( Surat Izin tempat Usaha), serta harus telah melakukan
kegiatan operasionalnya selambat – lambatnya tiga bulan sejak dikeluarkannya
izin dimaksud. BPRS pun harus melakukan market development serta membuat brosur
produk bank dan mempersiapkan logo bank.
e.
Laporan Pembukuan
Laporan pembukuan BPRS pada
hari pertama operasi harus dilaporkan kepada BI setempat dengan melampirkan
Neraca Awal.
4. TUJUAN PENDIRIAN BPRS
Terdapat beberapa tujuan yang dikehendaki
dari berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di bawah ini
disampaikan tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya menyebutkan
butir-butirnya saja (Sudarsono, 2004:85; Sumitro, 1997:111), keterangan
tiap-tiap butir ditambahkan oleh penulis.
1. Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah
yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang
berada di pedesaan dan di tingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan
tersebut pada umumnya ternasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah.
Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber
permodalan bagi pengembangan usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah,
sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtertaan
mereka.
2. Menambah lapangan
kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi.
Kehadiran BPRS di kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi
masyarakat yang memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam
hal tenaga ahli. Sehingga semakin banyaknya BPRS di kecamatan-kecamatan maka
akan semakin banyak pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu,
pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan BPRS bagi masyarakat membuka peluang
usaha dan kerja yang semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPRS akan
menjadi penghambat bagi lajunya urbanisasi.
3. Membina ukhuwah
Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per
kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam
BPRS ditumbuhkan nilai ta’awun (saling membantu) antara pemilik modal dengan
pemilik pekerjaan. Dengan nilai ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara
bank dan nasabah yang merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan Ukhuwah
Islamiyah. Melalui kebersamaan tersebut usaha-usaha yang yang dilakukan masyarakat
dengan modal yang diberikan oleh BPRS bisa meningkatkan pendapatan masyarakat,
maka pada tingkat yang lebih tinggi akan pula meningkatkan perkapita baik lokal
maupun nasional.
Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga
tujuan diatas menjadi lima tujuan, yaitu (Djazuli, 2002: 108)
1. Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
yang pada umumya berada di daerah pedesaan.
2. Meningkatkan
pendapatan per kapita
3. Menambah lapangan
kerja terutama di tingkat kecamatan.
4. Mengurangi urbanisasi.
5. Membina semangat
Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan operasionalnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tersebut diperlukan strategi operasional. Pertama, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil. Terakhir, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.
Untuk mencapai tujuan operasionalnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tersebut diperlukan strategi operasional. Pertama, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil. Terakhir, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.
5. KEGIATAN USAHA
Sebagai lembaga keuangan syariah pada
dasarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat memberikan jasa-jasa
keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun demikian, sesuai UU
Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha
sebagai berikut:
1. Menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Menempatkan dananya
dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat
deposito, dan atau tabungan pada bank lain.
6. KEGIATAN YANG DILARANG (Berdasarkan
pasal 14 UU No.17 tahun 1992)
- Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
- Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
- Melakukan penyertaan modal
- Melakukan usaha perasuransian
- Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS
7. PRODUK-PRODUK BPR SYARIAH
Produk-produk
yang ditawarkan BPR Syariah secara garis besar adalah :
a.
Mobilisasi Dana Masyarakat
Bank akan mengerahkan dana masyarakat
dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah, adanya
fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan untuk
menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji (ONH), dll.
-
Simpanan amanah
Bank menerima titipan amanah berupa dana
infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan titipan ini adalah wadi’ah yakni
titipan yang tidak menanggung resiko. Bank akan memberikan kadar profit dari
bagi hasil yang didapat melalui pembiayaan kepada nasabah.
-
Tabungan wadi’ah
Bank menerima tabungan pribadi maupun
badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad penerimaan yang digunakan sama
yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada nasabah yang
dihitung harian dan dibayar setiap bulan.
-
Deposito wadi’ah
/ deposito mudharabah
Bank
menerima deposito berjangka pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah
atau mudharabah, dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai
penyertaan sementara dalam jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst.
Deposan yang menggunakan akad wadi’ah mendapat nisbah bagi hasil
keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil yang diterima dalam
pembiayaan nasabah setiap bulan.
b.
Penyaluran Dana
-
Pembiayaan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha)
dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai
dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha menanggung kerugian
dana, sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan kehilangan imbalan kerja.
-
Pembiayaan musyarakah
Perjanjian antara pengusaha dengan bank,
dimana modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola
bersama-sama. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai
kesepakatan awal.
-
Pembiayaan bai
bitsaman ajil
Proses
jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian
suatu barang oleh nasabah, kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang
dan keuntungan yang disepakati bersama.
-
Pembiayaan murabahah
Perjanjian
antara bank dan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian
bahan baku atau
modal kerja yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah
sebesar harga jual bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh
tempo).
-
Pembiayaan qardhul
hasan
Perjanjian
antara bank dan nasabah yang layak menerima pembiayaan kebajikan, dimana
nasabah yang menerima hanya membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan
ZIS.
- Pembiayaan
Istishna’
Pembiayaan dengan prinsip jual beli, dimana BPRS akan
membelikan barang kebutuhan nasabah sesuai kriteria yang telah ditetapkan
nasabah dan menjualnya kepada nasabah dengan harga jual sesuai kesepakatan
kedua belah pihak dengan jangka waktu serta mekanisme pembayaran/pengembalian
disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.
- Pembiayaan Al-Hiwalah
Penggambil
alihan hutang nasabah kepada pihak ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS, dikarenakan
nasabah belum mampu untuk membayar tagihan yang seharusnya digunakan untuk
melunasi hutangnya. Pembiayaan ini menggunakan prinsip pengambil alihan hutang,
dimana BPRS dalam hal ini akan mendapatkan ujroh/ fee dari nasabah yang besar
dan cara pembayarannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
11
c.
Jasa Perbankan Lainnya
Secara
bertahap bank akan menyediakan jasa untuk memperlancar pembayaran berupa proses
transfer dan inkaso, pembayaran rekening air, listrik, telepon, angsuran KPR,
dll.
Bank juga
mempersiapkan bentuk pelayanan berupa dana talang berdasarkan pembiayaan bai
salam.
8. BADAN-BADAN PENGEMBANG BPRS
Dalam
rangka meningkatkan dan mengembankan kegiatam dan pelaksanaan yang ada
dalam badan usaha BPR syariah maka suatu
badan dari BPR syariah menyelengarakan dan membentuk suatu kegiatan yang dapat
meningkatkan BPR syariah yakni dengan memberikan pelatihan, pendidikan dan
tehnical asissistance untuk BPR syariah yang akan tumbuh.
Hingga
saat ini minimal sudah terbentuk 2 yayasan yang turut serta dalam pengembangan
kegiatan BPR syariah anatara lain :
- IESD (institute for syariah economic development)
Dalam hal ini secara bebrkesinambungan IESD akan terus melakanakan
program pendirian/ pemberian bantuan teknis kepada BPR syariah di Indonesia
khsusunya daerah potensial umat islam. Dan ada beberapa program yang yang telah
dilaksanakan yakni berupa teknis bagi pendirian BPR syariah diberbagai tempat
di Indonesia.
- Badan yang yang membantu dalam kegiatan yayasan pendidikan dan pengembangan bank syariah (YPBS)
Merupakan suatu bentuk kerja
sama antara bank muamalat Indonesia dengan ICMI. Yayasan ini dibentuk dalam
rangka membantu perkembangan dan mengembangkan BPR syariah di seluruh tanah
air. Kegiatan – kegiatan YPBS antara lain :
12
·
pendidikan baik basic untuk para sarjana yang baru
lulus dari perguruan tinggi, maupun intermediate bagi para praktisi yang telah
memiliki minimal 2 tahun pengalaman di sector perbankan.
·
Membantu proses pendirian.
·
Memberikan technical
assistance.
Selain dari beberapa usaha yang telah dilakukan diatas ada hal lain yang
di usahakan untuk meningkatkan kegiatan operasional dalam BPR syariah yang
berkaitan dengan pendidikan yakni berupa pengembangan inkubasi bisnis (INBIS)
c. Pengembangan Inkubasi Bisnis (INBIS)
Berdasarkan riset yang dilakukan Bank
Indonesia, Pengembangan INBIS melibatkan perguruan tinggi sebagai upaya
mempersiapkan perguruan tinggi menuju entrepreneurial university melalui
pengembangan budaya kewirausahaan dengan cara :
a. Menumbuh kembangkan budaya kewirausahaan di
lingkungan perguruan tinggi.
b. Mewujudkan sinergi potensi perguruan tinggi
dengan potensi dunia usaha sehingga dapat
menumbuhkembangkan IPTEK sesuai kebutuhan.
c. Mendorong pemanfaatan potensi bisnis
akademik dan nonakademik yang bernilai komersial.
d. Meningkatkan peluang keberhasilan
wirausaha baru melalui kegiatan pelayanan konsultasi terpadu.
13
e. Menumbuh kembangkan kegiatan-kegiatan yang
mendorong terwujudnya unit-unit usaha sebagai sumber pendapatan (income
generating unit) di perguruan tinggi dalam mengantisipasi otonomi perguruan
tinggi.
Dan Lembaga/departemen yang berperan dalam Inkubator Bisnis antara lain
Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT)
Kementerian Riset dan Teknologi serta Departemen Pendidikan Nasional.
9. LAPORAN YANG WAJIB DILAPORKAN BPRS
a. Dalam Ketentuan Umum
1. BPRS Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan Bulanan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia.
2. BPRS wajib menyampaikan laporan BMPK kepada Bank Indonesia yang
berisi :
- Fasilitas kredit kepada peminjam dan kelompok peminjam yang melampaui BMPK
- Seluruh fasilitas kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan BPR.
Laporan tersebut wajib disampaikan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas) setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
b.
Laporan Berkala
- Laporan Bulanan
Adalah laporan keuangan dan hasil
usaha yang terdiri dari neraca, laba rugi, rekening-rekening administratif dan
daftar rincian pos-pos neraca dimaksud.
Laporan Bulanan BPR wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas) setelah berakhirnya bulan laporan, sementara Laporan Bulanan Gabungan bagi BPR yang memiliki Kantor Cabang selambat-lambatnya tanggal 16 (enam belas) setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
Laporan Bulanan BPR wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 14 (empat belas) setelah berakhirnya bulan laporan, sementara Laporan Bulanan Gabungan bagi BPR yang memiliki Kantor Cabang selambat-lambatnya tanggal 16 (enam belas) setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
14
Laporan Bulanan BPRS yang selanjutnya disebut Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh BPRS untuk kepentingan Bank Indonesia, yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan menggunakan sandi-sandi dan angka.
Laporan Bulanan yang mencakup seluruh aspek keuangan dalam BPRS antara lain :
a. Neraca
b. Daftar Rincian Laba Rugi
c. Rekening Administratif
d. Daftar Rincian dari pos-pos dalam neraca dan pos-pos tertentu dari rekening administratif serta rincian informasi penting lainnya.
- Rencana Kerja Tahun
Adalah rencana kegiatan dan anggaran selama 1 (satu) tahun takwim yang disusun
oleh direksi atau yang setingkat serta disetujui oleh dewan komisaris.
Rencana kerja wajib disusun secara realistis dan sekurang-kurangnya memuat:
a. Rencana penghimpunan dana
b. Rencana penyaluran dana
c. Proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi yang dirinci dalam 2 (dua) semester
d. Rencana pengembangan Sumber Daya Manusia
e. Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan kinerja bank dan upaya untuk menyelesaikan perrmasalahan yang ada
BPR wajib menyampaikan Rencana Kerja Tahunan kepada Bank Indonesia, selambat-lambatnya pada akhir bulan Januari tahun yang bersangkutan dan BPRS pelapor adalah kantor pusat BPRS.
Dalam laporan berkala ini masih ada hal lain yang harus di parhatikan antara lain :
BPRS pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konvensi yang di tuangkan dalam suatu pedoman tertulis dan wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk, menyusun dan menyampaikan laporan bulanan.
15
BPRS dimyatakan terlambat menyampaikan laporan bulanan apabiala melampaui batas waktu yang di tetapkan sampai dengan tanggal 21 bulan berikutnya setlah verkhirmya bulan laporan.
Dalam hal BPRS dibubarkan karena merger atau konsolidasi denganBPRS lain sehingga tidak lagi menjadi BPRS Pelapor, BPRS tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk data akhir bulan laporan sebelummerger atau konsolidasi.
Dalam hal BPRS masih dalam proses akuisisi dan sudah tidak beroperasilagi, BPRS Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan ke BankIndonesia.
10. EVALUASI KEGIATAN USAHA BPRS
Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, BPR Syariah harus berdasarkan prinsip syariah Islam dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an dan
hadits. Dalam penerapannya, produk perbankan syariah dirumuskan dan memperoleh
persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang ditetapkan
pemerintah untuk merekomendasikan produk perbankan syariah telah sesuai dengan
ketentuan syariah. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah khususnya
BPRS masih memerlukan penyempurnaan, terutama dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Hal ini dirasakan seperti dalam penerapan produk
piutang murabahah, dimana perjanjian antara bank dengan nasabah terkait dengan
perjanjian jual beli atas sesuatu barang untuk nasabah. Pihak bank telah
mempelajari dengan seksama pengajuan permintaan kebutuhan barang untuk
mendukung kegiatan nasabah, menyetujui permintaan nasabah untuk membeli barang
dan menjual kepada nasabah dengan harga sesuai dengan harga pokok penjualan
ditambah margim keuntungan yang diminta pihak bank.
Dalam pelaksanaannya, BPRS mengalami kesulitan
dalam memenuhi ketentuan fatwa DSN ketika dalam transaksi piutang murabahah
pihak bank masih memberikan uang bukan barang, lalu mempercayakan kepada
nasabah untuk membeli barang yang dikehendaki sesuai jenis dan spesifikasi yang
telah disepakati.
16
Hal ini masih terkesan bahwa BPRS memberikan
pinjaman uang dan bukan membelikan barang. Kesulitan teknis pada transaksi pembelian
barang sesuai kebutuhan nasabah yang melibatkan pihak ketiga/supplier diharapkan
dapat diminimalisir dengan terjalinnya kerjasama dengan pihak ketiga/supplier
sebagai mitra usaha BPRS dalam menyediakan barang-barang kebutuhan nasabah.
Namun, kendala dan permasalahan tersebut diharapkan dapat teratasi manakala ada
komitmen yang kuat dari stakeholders pengurus bank untuk secara konsisten dan
istiqamah menjalankan kegiatan usaha dan perjanjian sesuai syariah Islam dan
sesuai fatwa DSN.
Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS secara kaffah
sesuai syariah Islam mutlak dilakukan, karena justru dengan demikian
kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah akan semakin meningkat, bukan
sebaliknya. Menganggap pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah sama dengan
kegiatan usaha bank konvensional.
Sangat tepat jika cetak biru perkembangan
perbankan syariah yang disiapkan oleh biro Perbankan Syariah Bank Indonesia
telah menggariskan kebijakan stategis dan objektif sampai tahun 2004, yakni
mendorong perbankan syariah untuk mematuhi dan melaksanakan kegiatan
operasional sesuai syariah secara konsisten.
Dalam presefktif syariah, jika kegiatan usaha
perbankan syariah dilaksanakan semata-mata sesuai ketentuan syariah, maka
diharapkan usaha tersebut akan memperoleh ridho dari Allah SWT dan memberikan
kemaslahatan bagi seluluh umat.
Selain itu dalam pertumbuhannya juga,
operasionalisasi perbankan syariah masih bertumpu pada aturan-aturan yang
diterapkan dalam bank konvensional karena industri perbankan konvensional telah
berkembang selama 3 abad dan perbankan
syariah baru tumbuh dalam tiga dekade terakhir. Walaupun disadari bahwa
perbankan syariah berbeda secara sistem dari bank konvensional, baik menyangkut
sistem operasional dan beberapa produk perbankan yang sangat spesifik terkait
dengan syariah Islam. Dalam perbankan konvensional peminjaman uang dalam bentuk
kredit dengan mengambil bunga tertentu diperbolehkan, namun untuk bank syariah
peminjaman uang tidak boleh ada nilai lebih.
17
Artinya jika nasabah diberi pinjaman seribu
rupiah maka harus kembali seribu rupiah, tidak boleh ada lebih, karena
kelebihan pembayaran tersebut dikategorikan riba. Hal-hal semacam ini
menunjukkan perlakukan yang berbeda sekaligus membutuhkan pemahaman atas
pengawasan yang berbeda.
Regulasi sistem pengawasan atas bank
syariah masih banyak mendasarkan pada pola bank konvensional. Kondisi ini tidak
dapat sepenuhnya disalahkan karena perkembangan bank syariah tidak mulus. Bank
Syariah pertama dimulai di Mesir pada tahun 1963 dalam bentuk bank tabungan
pedesaan dan ditutup tahun 1973 karena alasan politis. Di Pakistan didirikan
bank koperasi dengan dasar syariah namun pada bulan Juni 1965 bank tersebut
ditutup disebabkan karena salah dalam pengelolaan dan kurangnya supervisi
resmi. Baru pada tahun 1975, Dubai Islamic Bank menjadi pelopor dalam peletakan
awal sendi-sendi perbankan syariah di dunia. Setelah pendirian tersebut,
tercatat sampai akhir tahun 1996 telah didirikan lebih dari 166 lembaga
keuangan syariah atas prakarsa swasta maupun pemerintah (Chapra,2001:228-229).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari
perkembangan perbankan syariah internasional. Sejak adanya perbaikan dalam
undang-undang perbankan pasca Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menunjukkan
peningkatan yang sangat pesat. Hal tersebut ditunjukkan dengan asset bank
syariah pada tahun 1993 sebesar Rp460 miliar, tahun 1998 sebesar Rp600 miliar
dan pada September 2004 telah menjadi Rp12 triliun (Idat:2005).
Dibalik perkembangan aset yang
menggembirakan tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa perkembangan perbankan
syariah merupakan suatu eforia reformasi. Eforia perkembangan yang pesat
merupakan perkembangan yang semu dan berbahaya bila tidak dilandasi kerangka
kelembagaan dan pengaturan yang memadai dari aspek best practices.
Kerangka kelembagaan dan pengaturan yang tidak memadai rentan terhadap berbagai
bentuk kejahatan yang senantiasa mengintai industri perbankan nasional.
Sejarah pengaturan dan pengawasan
perbankan di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan untuk mengembangkan
perbankan nasional sekaligus untuk menanggulangi kejahatan perbankan yang
menyertainya.
18
Pengawasan bank melalui audit terhadap
bank pemerintah dilakukan berlapis-lapis oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kantor Akuntan Publik
termasuk oleh Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun, mengapa dengan berbagai upaya
tersebut, pembobolan yang mencolok mata tetap terjadi.
Pembobolan Bank BNI melalui transaksi
L/C fiktif, yang nilainya mencapai di atas Rp1 triliun, terjadinya permainan atau
pemalsuan dokumen NCD (Negotiable Certificate Document) di Bank Mandiri,
merefleksikan pengawasan bank yang belum berjalan sebagaimana mestinya (Bisnis
Indonesia, 27/10/2003).
Fakta-fakta di atas menimbulkan
pertanyaan apakah Bank Indonesia sebagai pengatur bank di Indonesia mampu
melakukan pengaturan yang efektif terhadap perbankan syariah. Kasus-kasus
kejahatan perbankan seperti di atas, bukan tidak mungkin dapat menimpa
perbankan syariah. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penelitian dan kajian
manajemen risiko bukan hanya untuk BI tetapi juga untuk manajemen bank itu
sendiri. Perlu usaha bersama dari berbagai pihak agar di dapatkan model
manajemen risiko yang lebih sesuai dengan bank syariah.
11. HARAPAN PENGEMBANGAN USAHA BPRS DIMASA MENDATANG
1.
Peningkatan Kegiatan
Sosialisasi Produk dan Jasa Perbankan Syariah ke seluruh Lapisan Masyarakat
Sosialisasi
produk perbankan syariah masih dirasakan sangat kurang. Merujuk hasil
penelitian kinerja industry BPRS di Indonesia yang diselenggarakan oleh biro
perbankan syariah Bank Indonesia tahun 2002, diperoleh gambaran bahwa pemahaman
masyarakat terhadap kegiatan operasional bank syariah khususnya dan konsep
keuamgam syariah pada umunya masih perlu ditingkatkan.
19
Media
promosi produk dan kegiatan operasional perbankan syariah pada umumnya baru
sebatas penyediaan brosur, melalui pelayanan dan pemasaran langsung petugas
bank dengan pelayanan jemput bola, dan memanfaatkan peran alim ulama serta
tokoh masyarakat dalam memasarkan produk perbankan syariah. Penggunaan medis cetak dan
elektronik tampaknya belum menjadi alternative promosi bagi BPRS. Dana promosi
yang terbatas yang dialokasikan dalam anggaran belanja BPRS terkait dengan
masih kecilnya skala operasional BPRS itu sendiri.
Perlu
kiranya dipikirkan kegiatan promosi bersana yang diselenggarakan atas
partisipasi segenap unsure perbankan syariah, industry keuangan syariah,
lembaga penunjang lainnya dan semua pihak agar perbankan syariah dan kegiatan
investasi sesuai syariah lainnya dikenal luas oleh masyarakat.
2. Teciptanya Altenatif Sumber Pendanaan dan
Peningkatan Kemampuan Permodalan BPRS
Pada tahun
1988, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pembiayaan likuiditas bagi BPRS
dalam bentuk pembiayaan Modal Kerja (PMK-BPRS) dan pembiayaan bagi Pengusa
Kecil dan Mikro (PPMK) dengan plafon sebesar maksimal satu kali jumlah modal
disetor BPRS untuk kategori BPRS yang berturut-turut sehat selama dua tahun
terakhir. Tetapi dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999, maka Bank
Indonesia tidak diperkenankan menyalurkan pembiayaan likuiditas kepada
perbankan, dan mengalihkannya kepada lembaga lain yang dirujuk oleh pemerintah
dan Bank Indonesia.
Fasiliatas
pembiayaan modal kerja bagi perkembangan BRPS dan fasilitas pembiayaan
likuiditas Bank Indonesia tersebut betul-betul dirasakan manfaatnya bagi BPRS,
terutama untuk memenuhi permintaan pembiayaan mudal kerja dari nasabah
pengusaha kecil dan mikro, sesuai arah dan sasaran yang hendak dicapai untuk
pengembangan usaha ekonoi produktif yang dikembangkan pengusaha kecil dan mikro
di pedesaan.
20
Sejak
dialihkannya penyediaan fasilitas pembiayaan tesebut dari Bank Indonesia kepada
lembaga lain, akses BPRS untuk memperoleh sumber pendanaan selain dari
penghimpunan dana dari masyarakat lebih banyak diperoleh dari kerjasama pembiayaan
dengan bank umum syariah untuk membiayai kebutuhan modal kerja nasabah BPRS
lemahnya sumber pendanaan BPRS juga karena kesulitan BPRS itu sendiri untuk
mengakses sumber pendanaan dari lembaga dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang membatasi penempatan investasinya hanya di bank umum atau bank pemerintah
lainnya.
Sementara
itu kemampuan para pemegang saham dalam meningkatkan struktur permodalan bank
terutama dalam rangka mengimbangi peningkatan dan perkembagan usaha bank juga masih belum diharapkan.
Keadaan ini mungkin sejalan dengan keadaan perekonomian nasional secara makro
pada saat ini yang belum pulih sesuai yang diharapkan. Kesulitan sumber
pendanaan bagi BPRS ini dapat dibantu dengan melonggarkan kewajiban investasi
dari badan usaha milik pemerintah dan swasta dan memberikan peluang
berinvestasi d BPRS, dengan tetap memperhatikan prinsp-prisip dan kaidah
investasi yang aman dan menguntungkan.
Kebijakan
penyaluran pembiayaan usaha kecilm s\dari penyisihan 5% dari laba Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi dalam rangka
pengembangan usahanya, kiranya dapat disalurkan melalui BPRS sebagai dana
bergulir. Dengan demikian efektivitas penyaluran pembiayaan tersebut
diharapkan lebih meningkat.
3. Peningkatan Kehandalan Bankir BPRS dalam Memahami
Prinsip Syariah
Keterbatasan banker syariah yang handal
dan menguasai operasional perbankan syariah serta menjalankan secra konsukeun
prinsip-prisip syariah merupakan masalah yang mendasar bagi perbaikan BPRS dan
pengembangan di masa mendatang.
21
Lembaga pendidikan non formal yang khusus
memberikan pelatihan (training) tentang produk dan ajsa perbankan syariah masih
terbatas. Maka diharapkan akan tumbuh lembaga-lembaga baru sebagai pendukung
pengembangan BPRS, termasuk antaranya lembaga/konsultan perbankan syariah.
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah)
adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya
mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun muamalah islam. Dalam perkembangan
selanjutnya perkembangan BPR yang tumbuh semakin banyak dengan menggunakan
prosedur-prosedur Hukum Islam sebagai dasar pelaksanaannya serta diberi nama
BPR Syariah.
Latar
belakang didirikannya BPR Syariah adalah sebagai langkah aktif dalam rangka
restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket
kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum, dan secara khusus
mengisi peluang terhadap kebijakan bank dalam penetapan tingkat suku bunga
(rate of interest).
Produk
– produk BPR Syariah secara garis besar
:
- Mobilisasi Dana Masyarakat
- Penyaluran Dana
- Jasa Perbankan Lainnya
B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari
kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga untuk kedepannya makalah
ini dapat diterima oleh para pembaca.